PARADIGMA
1.Pengertian
Paradigma
Paradigma adalah kumpulan tata nilai
yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga
akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan
menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of
Science Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu
pihak paradigma berarti keselurahan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang
dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain
paradigma menunjukkan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika
digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang
secara eksplisit sebagai atau menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan
teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer
dalam progress sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu,
dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah
paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam
kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi
paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara
open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn
berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah
dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan
aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara
revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan
empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta
psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab
dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang
diperoleh.
Kata paradigma berasal dari bahasa
Yunani yang berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Berasal dari kata para
yang berarti disamping memperlihatkan dirinya.
a.
Arti paradigma ditinjau dari asal usul beberapa bahasa diantaranya
:
-
Menurut bahasa Inggris : paradigma berarti keadaan lingkungan
-
Menurut bahasa Yunani : paradigma yakni para yang berarti disamping, di sebelah
dan dikenal sedangkan deigma berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal.
-
Menurut kamus psycologi : paradigma diartikan sebagai
1. Satu model atau
pola untuk mendemonstrasikan semua fungsi yang memungkinkan adar dari apa yang
tersajikan
2. Rencana riset
berdasarkan konsep-konsep khusus, dan
3. Satu bentuk eksperimental
Kesimpulan : secara etimologi arti paradigma adalah satu
model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka pikir.
b. Arti paradigma secara terminologis ebagai
berikut :
- Paradigma
adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual
terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan teori formal, eksperimentasi dan
metode keilmuan yang terpecaya.
-
Dasar-dasar untuk menyeleksi problem dan pola untuk mencari permasalahan riset.
- Paradigma
adalah suatu pandangan terhadap dunia alam sekitarnya, yang merupakan
perspektif umum, suatu cara untuk menjabarkan masalah-masalah dunia nyata yang
kompleks.
Kesimpulan : secara terminologi paradigma adalah
pandangan mendasar para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.
Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan ini
terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya
cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja. Sehingga
apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan,
maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru lebih sesuai adalah
suatu keharusan. Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda,
usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan
yang ada sesuai perkembangan jaman terus dilakukan.
c.
Arti paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1.
Cara memandang sesuatu
2.
Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena
dipandang dan dijelaskan.
3.
Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau
mendefinisikan suatu studi ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek
ilmiah pada tahap tertentu.
4.
Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan
problem-problem riset.
Pengertian paradigma menurut
Patton(1975) : “A world view, a general perspective, a way of breaking
down of the complexity of the real world”(suatu pandangan dunia, suatu cara
pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata).
Pengertian paradigma menurut Robert
Friedrichs(1970) : Suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Pengertian paradigma menurut George
Ritzer(1980) : Pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang atau
disiplin ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Ritzer mengungkapkan bahwa paradigma
membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang
harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus
diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi
yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dari pengertian ini dapat
disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa
paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang
masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu
pengetahuan tersebut.
d. Arti paradigma menurut Masterman
diklasifikasikan dalam 3 pengertian paradigma :
1. Paradigma metafisik yang mengacu
pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
2. Paradigma
sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan
teori yang diterima secara umum.
3. Paradigma
konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu,
misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll..
2.Paradigma Dalam Penelitian
a. Paradigma
Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik
untuk ditanggapi di sini, yaitu bahwa “A paradigm may be viewed as set of
basic beliefs (or metaphisies) that deals with ultimetes or principles. Keyakinan
itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan dunia tentang hakikat sesuatu,
serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima dengan penuh
kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian
sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar.
Keyakinan (beliefs), aksioma atau asumsi dasar tersebut menempati posisi
penting dalam menentukan skema konseptual penelitian, ia merupakan dasar
permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.
Berkait
dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan
paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan
paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian
kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl
(1859-1926).
a.1. Paradigma
Penelitian Kuantitatif
Paradigma kuantitatif merupakan satu
pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme.
Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan
teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan
teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari
Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam
penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang
valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal
dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat
pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis,
dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan
paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi
hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience).
Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi
penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara
fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang
dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory
experience yang terbatas pada external appearance given in sense
perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang
diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada
eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana
pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif
diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau
gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah;
Obyek-obyek
tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat
maupun dimensi lainnya;
Suatu
benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu;
dan
Auatu
gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan
merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Jadi
diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas). Dalam
kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti
dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case
tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical
regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau
contoh dari adanya suatu empirical regularities.
Sejalan
dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif
berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional
data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan
korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta
korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu
itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian
diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara
induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan
ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.
Dalam
metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa
sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah.
Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case,
baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup
banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara
keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek
penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling
relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan
partikularistis.
Lebih
khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia
Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap
paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian
kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat
generalisasi (generalization). Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative
induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi
sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah
pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena
dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya “keserupaan”
antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai
universalisasi.
a.2 Paradigma
Penelitian Kualitatif
Penelitian
kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia
sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini
berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan
kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat
humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi
manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam
pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan
konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di
kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau
kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah
laku yang terkspresi secara eksplisit.
Terdapat
sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti
Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa
aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu
benang merah yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang
hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas
dasar sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku.
Bertolak
dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan
bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan
merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati
secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai
fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks
yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum
tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
Dalam
Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif,
lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi.
Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran
utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada
interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku
sosialnya.
Paradigma
kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan
itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan
keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya
berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian
kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah –
bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis,
paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan
tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan
verifikasi.
Dalam
penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting
dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen
pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti
alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus
dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif
menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation).
Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep
dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak
dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan
cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara
pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi
analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya,
kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar