Selasa, 20 November 2012

PARADIGMA



PARADIGMA
1.   Pengertian Paradigma

Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of Science Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keselurahan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukkan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai atau menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Kata paradigma berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Berasal dari kata para yang berarti disamping memperlihatkan dirinya.



a.    Arti Paradigma Secara Etimologi

a.1  Ditinjau Dari Asal Usul Beberapa Bahasa Diantaranya :

-      Menurut bahasa Inggris : paradigma berarti keadaan lingkungan
-      Menurut bahasa Yunani : paradigma yakni para yang berarti disamping, di sebelah dan
       dikenal sedangkan deigma berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal.
-      Menurut kamus psycologi : paradigma diartikan sebagai
1.   Satu model atau pola untuk mendemonstrasikan semua fungsi yang memungkinkan   
      adar dari apa yang tersajikan
2.   Rencana riset berdasarkan konsep-konsep khusus, dan
3.   Satu bentuk eksperimental

Kesimpulan : secara etimologi arti paradigma adalah satu model dalam teori ilmu  
                       pengetahuan atau kerangka pikir.

  b.  Arti paradigma  secara terminologis ebagai berikut :

       -    Paradigma adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan
            konseptual terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan teori formal,  
            eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpecaya.
-       Dasar-dasar untuk menyeleksi problem dan pola untuk mencari permasalahan riset.
-       Paradigma adalah suatu pandangan terhadap dunia alam sekitarnya, yang merupakan perspektif umum, suatu cara untuk menjabarkan masalah-masalah dunia nyata yang kompleks.

Kesimpulan : secara terminologi paradigma adalah pandangan mendasar para ilmuwan
                            tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari  
                            oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan ini terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru lebih sesuai adalah suatu keharusan. Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan jaman terus dilakukan.

b.    Arti paradigma menurut kamus filsafat adalah :

1.    Cara memandang sesuat
2.    Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang
             dan dijelaskan.
3.    Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan
suatu studi ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4.    Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.

Pengertian paradigma menurut Patton(1975) : “A world view, a general perspective, a way of  breaking down of the complexity of the real world”(suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata).
Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs(1970) : Suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Pengertian paradigma menurut George Ritzer(1980) : Pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Ritzer mengungkapkan bahwa paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.
 Dari pengertian ini dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut.

c.    Arti paradigma menurut Masterman diklasifikasikan dalam 3 pengertian paradigma :

1.   Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
2.   Paradigma sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau
       penemuan teori yang diterima secara umum.
3.   Paradigma konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup
      tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll..

2.    Paradigma Dalam Penelitian 

   a. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

 Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini, yaitu bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that deals with ultimetes or principles. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan dunia tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima dengan penuh kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting dalam menentukan skema konseptual penelitian, ia merupakan dasar permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian
Berkait dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).


              a.1  Paradigma Penelitian Kuantitatif
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)  yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; 
Obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; 
Suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan 
Auatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. 
Jadi diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas). Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu empirical regularities.
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.
Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya,  cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization). Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai  adanya “keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.


                  a.2  Paradigma Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.
Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku.
Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif pandangan  sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya.
Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis.

Tidak ada komentar: